Thursday, April 11, 2019

# Family # Game Level 1

Tantangan 10 Hari Komunikasi Produktif - Hari 15 - "Tantangan yang lebih Besar"

Komunikasi Produktif dengan Anak

Ternyata waktu 15 hari mengerjakan tantangan di game level 1 kelas Bunda Sayang ini terasa cepat berlalu. Rasanya baru kemarin saya bilang pada suami bahwa saya akan melakukan tantangan komunikasi produktif dan bahkan mengajaknya untuk melakukan tantangan ini lebih dulu sebelum dengan anak-anak.

Alhamdulillah banyak perubahan positif yang kami, terusama saya, rasakan setelah 2 pekan belajar bersama. Memanglah niat baik yang diikuti ikhtiar yang baik dengan tujuan yang baik pula, akan menghasilkan pencapaian yang luar biasa. Bahkan kadang jauh di luar ekspektasi kita. Alhamdulillah...

Di hari ke-15 ini, saya mendapat tantangan yang luar biasa dari anak-anak, terutama Ghaifan. Bukan hanya tentang komunikasi produktif, tapi wawasan saya diuji kali ini. Teknik komunikasi yang sudah saya pelajari melalui tantangan ini masih membuat saya kurang percaya diri menjelaskan apa yang anak-anak tanyakan pada saya. Membuat saya makin sadar, ini tantangan besar bagi saya dan juga suami.

Berawal dari cerita anak-anak sepulang sekolah, bahwa tadi mereka crafting membuat hiasan untuk Ostern/Easter atau Paskah. Ya, saat ini memang sedang masanya ummat Kristiani menyambut hari raya Paskah. Berbagai hiasan dan pernak-pernik bertemakan telur, kelinci, dan anak ayam menghiasi hampir semua tempat di kota ini. Di sekolah pun kegiatan anak-anak selalu menyesuaikan musim dan perayaan hari besar saat itu, termasuk Ostern.

Hasil karya Ghaidan

Anak-anak dengan semangatnya menunjukkan hasil karyanya. Athifa cerita kalau hari ini dia makan 5 sweets. Si kembar pun mengiyakan karena mereka juga mendapatkan hadiah yang sama; cokelat berbentuk telur, muffin yang dihias menyerupai wajah kelinci, permen kenyal berbentuk kepala kelinci, dan lain-lain. Saya tanya tentang permen kenyal itu, karena itu rawan mengandung gelatin.

"Ghaifan, itu permennya buat vegetarian?" tanya saya memastikan.

"Yes. The teachers prepared two kinds of them. We, muslims, got the vegetarian one." Ghaifan menjelaskan.

Guru-guru di sini tahu bahwa muslim tidak boleh memakan sesuatu yang mengandung babi, termasuk gelatin yang di sini pada umumnya memang terbuat dari enzim babi. Jadi mereka sudah menyiapkan jenis yang vegetarian untuk murid-murid yang beragama Islam.

"Bunda...," tiba-tiba Ghaifan menahan langkah saya, "well, you know, the other kids, i mean not the muslim kids, got different one. And it looks so yummy. The rabbit has the hard nose, and they said it's so yummy. I also want it. But we can't...because it has pig...."

Wajah Ghaifan terlihat sedih dan kecewa. Dan tiba-tiba dia berkata sesuatu yang membuat saya kaget dan juga sedih.

"Bunda, why can't we eat pig? Why do i have to be muslim?"

Ok. Saya harus tenang. Ini bukan pertama kalinya anak-anak menanyakan hal serupa. Kami sudah beberapa kali diskusi tentang hal seperti ini. Hanya saja kali ini selain saya sedang tidak siap menjawab, karena sedang tidak ada suami yang bisa mem-back up saya, juga saya lihat Ghaifan sedang cukup emosional. Maksudnya dia betul-betul sedang terbawa perasaan saat itu. Jadi saya pikir ini bukan saat yang tepat untuk berdiskusi, karena dia masih lebih menonjolkan emosinya daripada logikanya.

So, saat dia bertanya seperti itu, saya berusaha tenang. Saya menahan diri untuk tidak berkata yang bisa memancing diskusi lebih dalam. Saya lebih banyak menggali dulu apa yang dia rasakan dan apa yang membuat dia tidak biasanya seemosional itu (hanya) karena masalah makanan.

Saat menunggu bus pulang sekolah
Menjelang tidur akhirnya kami berdiskusi cukup panjang. Saya memang masih kesulitan menjelaskan suatu tema yang berat pada anak-anak. Selain karena kendala bahasa (mereka lebih faham English), untuk diskusi yang lebih menggunakan logika memang suami saya bisa lebih pandai menyampaikannya.

Saya ceritakan kembali apa yang pernah ayah mereka ceritakan tentang Nabi Adam AS. Lalu kami diskusi tentang bagaimana seharusnya seorang muslim yang baik berperilaku. Apa saja contoh perbuatan yang dilarang dan diperintahkan oleh Allah. Hingga perayaan apa saja yang ada di Islam.

Saya menjadi semakin sadar. Inilah tantangan yang lebih besar. Hidup di negara minoritas muslim dengan lingkungan yang tentu saja kurang Islami membuat kami harus benar-benar siap menghadapi berbagai pertanyaan "Why?" dari anak-anak. Apalagi cara berpikir anak-anak kami, terutama si kembar yang logis. Bahkan guru agamanya di sekolah sempat bilang pada guru kelas si kembar bahwa dia sedikit kewalahan dengan cara berpikir si kembar. Mereka sering mengajak gurunya diskusi yang cukup berat dengan pertanyaan-pertanyaan yang sulit dijelaskan dengan bahasa anak kelas 2 sekolah dasar. Katanya, si kembar ini mending dinaikkan aja langsung ke kelas 4! 😅



#hari15   #gamelevel1   #tantangan10hari   #komunikasiproduktif #kuliahbundasayang      #institutibuprofesional

No comments:

Post a Comment